Jejak Tambang Ilegal di Tuban: Nama Mantan Kades Ikut Terseret, Wartawan Dibacok!

  • oleh

Aroma busuk praktik tambang ilegal kembali tercium di Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Kali ini, sorotan publik mengarah ke Kecamatan Kerek, wilayah yang sejak lama dikenal rawan aktivitas tambang liar.

Nama-nama seperti Santoso dan Siska muncul ke permukaan sebagai pemilik tambang, namun yang lebih mengejutkan adalah dugaan keterlibatan Agus Suyono, mantan kepala desa yang disebut-sebut menjadi otak di balik pengelolaan aktivitas tersebut.

Informasi yang beredar di kalangan masyarakat maupun aktivis setempat mengungkap adanya bukti transfer dana dari Agus Suyono kepada Johanes Siregar.

Dokumen transaksi itu dianggap sebagai petunjuk awal bahwa jaringan tambang ilegal ini tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki alur finansial yang rapi, bahkan mungkin melibatkan lebih banyak pihak.

Pertanyaan pun mencuat: apakah transfer dana tersebut sekadar transaksi biasa, atau justru bagian dari aliran uang yang menghidupi praktik tambang tanpa izin?

Kecurigaan semakin menguat setelah muncul insiden penganiayaan terhadap salah satu pimpinan redaksi (Pimred) media Memo.

Korban diketahui tengah gencar memberitakan dugaan tambang ilegal di Kerek sebelum akhirnya mengalami pembacokan oleh orang tak dikenal.

Peristiwa berdarah itu menimbulkan kesan kuat adanya upaya pembungkaman terhadap kebebasan pers, sekaligus menciptakan dugaan bahwa ada pihak-pihak yang panik ketika aktivitas tambang ilegal mulai terekspos ke publik.

Fenomena tambang liar ini ternyata tidak hanya berhenti di Kecamatan Kerek. Informasi lapangan menyebutkan pola serupa juga menjalar ke wilayah lain di Tuban, seperti Tambakboyo, Montong, hingga Merakurak.

Warga di daerah tersebut mengeluhkan dampak nyata yang mereka rasakan: lahan pertanian rusak, air sumur mulai keruh, dan beberapa akses jalan hancur akibat lalu lalang kendaraan tambang.

“Kalau memang tambang itu resmi, harusnya ada papan nama dan izin yang jelas. Tapi kenyataannya tidak ada, malah makin banyak aktivitas di malam hari. Seperti ada yang ditutupi,” ungkap seorang warga Tambakboyo dengan nada kesal.

Dugaan kerugian negara juga mencuat ke permukaan. Tanpa izin resmi, potensi kebocoran pajak dan retribusi daerah bisa mencapai angka yang tidak sedikit.

Situasi ini tentu saja mencederai rasa keadilan masyarakat yang taat aturan, sekaligus memperlihatkan betapa longgarnya pengawasan terhadap aktivitas pertambangan di Tuban.

Hingga kini, aparat penegak hukum belum mengeluarkan keterangan resmi mengenai keterlibatan para pihak yang disebut dalam kasus ini.

Namun desakan publik semakin keras: masyarakat menuntut transparansi, investigasi menyeluruh, dan keberanian aparat untuk menindak tegas siapapun yang terlibat, tanpa pandang bulu.

Bukti awal berupa transfer dana, ditambah fakta adanya tindak kekerasan terhadap jurnalis, sudah cukup kuat menjadi pintu masuk penyelidikan serius.

Kasus ini pada akhirnya bukan sekadar soal tambang ilegal, tetapi juga soal keberanian negara hadir melawan mafia tambang yang kerap kali berlindung di balik jabatan, uang, dan jaringan kekuasaan.

Pertanyaannya kini, apakah hukum berani berdiri tegak, atau justru akan kembali tunduk di hadapan mereka yang punya kuasa?

(FG)