Tambang Harita di Ketapang: Kaya Merusak, Miskin Komitmen

  • oleh

Ketapang | | dayunewstvindonesia.com – Kabupaten Ketapang seolah hanya menjadi ladang eksploitasi bagi perusahaan tambang raksasa, tanpa berbanding lurus dengan manfaat yang dirasakan masyarakat. Bauksit, emas, hingga mineral lain mengalir keluar, tapi yang tertinggal justru jalan rusak, pencemaran sungai, dan hutan yang terkoyak.

Sorotan paling keras kini diarahkan pada PT Harita Group. Perusahaan ini menjadi satu-satunya yang tak kunjung memulai kewajiban gotong royong memperbaiki ruas Jalan Pelang–Kepuluk. Ironisnya, sementara perusahaan lain sudah bergerak bahkan menuntaskan segmen perbaikan, Harita masih berdalih soal “proses dengan vendor” yang tak kunjung selesai lebih dari sebulan.

“Kalau yang lain bisa, kenapa Harita tidak? Kita beri kesempatan, tapi tentu ada batas sabar masyarakat,” tegas Bupati Ketapang Alexander Wilyo usai rapat koordinasi, Rabu (10/9/2025). Pernyataan ini jelas memberi sinyal bahwa pemerintah mulai gerah dengan kelambanan perusahaan raksasa tersebut.

Masalah Harita bukan cuma jalan rusak. Rekam jejaknya sarat kritik: kontribusi sosial minim, sementara dampak lingkungan meroket. Warga berulang kali melaporkan pencemaran sungai, degradasi lahan, hingga hilangnya habitat satwa. Ketimpangan ini kian menegaskan wajah tambang di Ketapang: mengeruk sebesar-besarnya, memberi kembali sekadarnya.

Kasus terbaru muncul di Kecamatan Air Upas. Limbah tambang bauksit yang diduga kuat berasal dari PT Harita Prima Mining Utama (HPMU) mencemari aliran sungai hingga warga tak lagi bisa mengandalkan air bersih. “Sampai sekarang tak ada respon ataupun solusi nyata dari perusahaan,” ujar Hendra Imanuel, salah satu warga terdampak, 3 September lalu. Catatan hitam serupa juga pernah terjadi tahun 2022 di Sungai Kediuk, Kecamatan Sandai, akibat aktivitas anak perusahaan Harita, PT Cita Mineral Investindo (CMI).

Dampak semacam ini sejatinya bukan hal baru di negara-negara kaya tambang. Nauru hancur akibat fosfat, Kongo dililit konflik mineral, Zimbabwe menanggung kehancuran lingkungan tanpa kesejahteraan. Pola yang sama kini mengintai Ketapang: kekayaan alam melimpah, namun masyarakat hanya jadi penonton di tengah kerusakan yang ditinggalkan.

Kini, publik menuntut langkah tegas: apakah pemerintah daerah akan terus memberi kelonggaran pada Harita, atau berani menjatuhkan sanksi? Bagi masyarakat Ketapang, saatnya perusahaan tambang berhenti menyisakan jejak kerusakan. Mereka menuntut keadilan: kekayaan bumi harus kembali pada rakyat, bukan hanya mengalir ke kantong korporasi.

(FG)